Sabtu, 23 Juli 2016

Doa sang pohon*


                Hari itu, aku berpikir bahwa hari itu hari yang terbaik dalam hidupku. Aku masih berdiri tegak dan kokoh, bersama teman temanku. Banyak hewan yang mengelilingi kami. Ada yang bermain, bernyanyi, dan  beradu kasih. Hutan ini bagaikan surga tuk dunia. Aku tersenyum melihat kebahagiaan itu.

            Namun, semua kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Ku lihat sesosok mahluk datang. Tak sesosok tapi  segerombol. Mereka membawa benda yang menyala. Berwarna merah-oranye dan mengempulkan asap. Aku bisa merasakan panasnya. Kemudian, mahluk itu menyentuhkan benda yang panas itu ke badan tegap kami. Panas. Panas sekali.

            Panasnya menjalar dari kaki sampai rambutku. Rasanya aku ingin menangis, melihat rambutku yang berwarna hijau berkilauan seperti zamrud berubah menjadi abu hitam. Ku lihat burung-burung yang bersarang di dahan dahanku yang kuat. Bergesa-gesa pergi dari hutanku. Tanpa memedulikan sarangnya yang masih menempel di sela sela dahanku.

            Kudengar jeritan jeritan teman temanku dan tangisan para penghuni hutan. Asap menghalangi pandanganku, tapi samar-samar ku melihat para binatang saling desak-desakan tabrak-tabrakan, injak-menginjak. Berharap bisa keluar dari hutan asap ini. Tetapi ada juga yang saling bertanya, “Dimana kita akan mengungsi?? Dimana rumah kita?? Apakah kita bisa bertahan hidup? Atau memang ajal kita sudah dekat? ”. Tak ada yang bisa menjawab. Yang terdengar hanya serentetan jeritan.

            Manusia memang mahluk yang kejam. Mereka tak memperdulikan mahluk yang lainya, juga mahluk sesamanya. Setelah membumihanguskan kami. Mereka menghilang. Entah kemana. Tapi hanya satu yang ku tau dan memang benar adanya. Mereka tak kan pernah kembali.

            Api masih membara. Bangkai-bangkai binatang yang berserakan lama-lama ikut terbakar dan berubah menjadi abu. Satu persatu teman-temanku tumbang. Jatuh seenaknya, malah terkadang menimpa pohon yang lain. Walaupun begitu tanpa belas kasihan, api masih melahap tubuh kami. Di tempatku, aku hanya bisa terdiam dan berdoa kepada sang hyang widhi. Mudah mudahan prilaku mereka terbalas.

***

            Hari mulai berganti. Tapi asapnya tak kian berhenti. Tubuhku hanya sisa sebonggol. Itupun seperti mau mati. Andai aku punya kaki. Nasib ku takkan seperti ini. Mungkin ku bisa pergi sampai ke Jonggol. Bisa mencari kehidupan baru disana.

            Tapi aku tau diri. Aku hanya tanaman. Tak bisa bergerak maupun berbicara. Disiksa saja aku hanya bisa diam dan meratapinya. Walau sekarang aku sekarat. Aku masih bisa merasakan asap disekitarku. Mereka telah menjadi pembunuh kedua setelah manusia. Malah-malah juga membunuh manusia.

            Suatu hari, terdapat benda terbang yang mendarat di hutan asap ini. Beberapa orang pria yang menggunakan penutup hidung keluar dari benda tersebut. Kulihat salah satu dari mereka membawa benda aneh yang ditempelkan di dekat mata kirinya. Kamera, pikirku. Dulu saat manusia masih bersahabat dengan kami. Malah kadang kadang mereka membuat acara tuk menambahkan jumlah anggota kami. Lalu mengabdikan peristiwa itu dengan kamera. Tapi sekarang, lihat apa yang mereka perbuat.

            “Ya’.... sekarang saya sudah berada di salah satu hotspot atau titik panas Riau. Seperti yang kita lihat, walaupun kabut asap masih tipis. Tapi kabut asap tak kunjung berhenti. Dan seperti yang diketahui, sudah terdapat lebih dari 20 titik panas di Riau. Diiinformasikan bahwa, karna cuaca tak mendukung, asap kian menebal. Juga dari dinas kesehatan Provinsi Riau, sudah terdapat lebih dari 40 orang terkena ISPA. Saya Leonardi, Sekian” Kata seorang Pria yang memegang sebuah pengeras suara.

            Ada sedikit kesenangan yang melintas di hatiku saat sang pria berkata ISPA. Tapi ada banyak pilu yang melanda perasaanku. Separah itukah ulah manusia ini? Bagaimana nasib orang orang yang tak bersalah yang menjadi korban dari asap ini?. Aku kira manusia masih punya hati. Ternyata tidak. Mereka rela mengorbankan yang lainnya tuk ego mereka sendiri.

            “And cut...” kata seorang pria lainnya. Merekapun mengecek gambar yang sudah mereka ambil. Salah satu antara mereka berkata,

“Eh.... dulu apa ya, yang tumbuh disini?”

“Oh.. mungkin Batai”

“Wah kasihan sekali ya hutan ini... Pasti dulu sangat indah”

“Iya. Yah tapi kita bisa apa. Sekarang bukan zamannya kita bergantung pada alam”

“Tapi pada uangkan??” canda salah satu dari mereka

“Hahahaha Iya betul”

“Ya sudah sekarang, ayo kita pulang sebelum hari menjadi semakin kelam dan kita terjangkit ISPA” ajak pria yang membawa kamera.

            Setelah itu mereka bergegas masuk ke benda terbang itu.

            Aku berharap suatu saat mereka kembali dan membawa kabar gembira tentang asap ini. Bukan kabar yang begitu pilu dan menyedihkan.

***

            Menurut kabar udara, asap di tempatku tak terlalu parah. Hah... tak terlalu parah???, pikirku. Jelas jelas asap ini sudah membuat orang orang bengek. Aku juga sudah semakin sekarat. Nafasku semakin sesak. Aku tak bisa makan.

Juga menurut kabarnya, asap kian menjalar hingga ke negeri jiran. Sampai samapai, mantan presiden kita yang sedang jalan jalan ke negeri tetangga di maki maki karena asap ini.

            “Hei kalian orang Indonesia... tahukah kalian, asapmu ini sudah membuat orang orang menderita... aktivitas kami terganggu.. napas kami sesak... tiap hari berdo’a agar asap ini berhenti..padahal yang membuat ulah kan warga kalian sendiri... lalu kenapa kami yang kena imbasnya” cibirnya dengan bahasa asing.

            Mantan presiden kita hanya menoleh kepada teman pengusahanya. Tak ada yang bisa menjawab. Semuanya hanya menelan ludah. Tak punya kata kata. Lalu garuk garuk kepala.

            Aku rindu hutanku yang dulu. Angin sepoi sepoi mengusap rambutku. Embun pagi yang membelai badanku. Para tupai yang memeluk tubuhku. Burung burung yang bernyanyi untukku. Dan para penghuni yang menari dengan indah. Sekarang, hanya bangkai yang bisa kulihat dan kabut.

            Sebenarnya hutanku tak jauh dari kampung warga. Dulu aku bisa melihat kegiatan sehari hari warga kampung itu. Anak anak bermain. Orang tua bekerja. Dan sesepuh yang setiap pagi duduk di teras, menyeruput kopi pait sambil menghisap kretek. Gelak tawa warga juga semangat mereka saat acara acara besar berdatangan terkadang bisa kurasakan dari sini.

            Yang kurasakan sekarang hanya asap. Asap. Lalu tangisan. Tak ada warga yang bisa keluar dari wilayah ini. Bandara tutup. Stasiun tutup. Pangkalan ojek pun tutup. Yang terbuka hanyalah pintu Puskesamas dan rumah sakit. Yang kian hari makin sibuk dan sesak.

***

            Akhir akhir ini kabar udara yang beredar makin mencengkam. Asap juga kian menghitam. Katanya ada 6 orang yang meninggal gara gara ulah si Asap. Tapi dinas kesehatan Riau membantah hal itu dan mengutuk si pembuat fitnah.

            Katanya juga, asap ini adalah bentuk ritual pengusaha hutan yang ingin menanam pohon mereka. Yang mereka pandang kualitas kayunya lebih baik dari kami. Aku ingin tertawa saat mendengar hal itu. Tapi tak ada yang bisa ditertawakan. Hanya sebuah pernyataan yang terlontar di benakku. Ternyata manusia lebih bodoh dari binatang.

            Kadang aku bingung dengan para manusia. Mereka diberi banyak akal oleh tuhan, tapi tak berwawasan. Para hewan saja yang hanya diberi sedikit akal, mengerti apa fungsinya kami. Halah... dunia makin rumit saja. Makin terbalik.

            Setiap hari aku menonton asap menari di sekitarku. Aku sudah mulai terbiasa dengan ini. Sudah mulai terbiasa menunggu ajalku. Namun, tiba tiba terlihat sosok mobil besar dengan pipa yang menggantung diatasnya. Di samping mobil tersebut terdapat manusia yang menggantung seperti orang utan yang bergelayutan. Manusia itu memakai baju serba tertutup. Sampai-sampai seluruh kepala mereka pun tertutup. Tuhan.. tolong hamba... cukup siksaan itu.., doaku dalam hati.

            Namun , hal tak terduga terjadi. Saat pria itu mengambil selang pipa dan menyemprotkan air ke tanah ku. Dingin. Segar. Aku sudah lama tak merasakan hal ini. Tak terhitung berapa lama. Ternyata aku salah. Masih ada beberapa manusia yang peduli. Masih ada beberapa manusia yang berusaha untuk menghentikan.

            Sang pria pun berhenti menyemprotkan airnya. Dan mobil besar itu pun berlalu dengan cepat layaknya super hero. Aku bertanya, apakah mereka akan kembali? Atau tak kan seperti pembakar hutan dan pembawa berita?.

Tapi dugaanku salah. Tiga kali seminggu dengan rutin mereka datang ke tanah ini. Mengguyurkan air ke tanah kami. Walaupun kami tau, kami takkan tumbuh lagi. Tapi kami sudah rindu dengan dinginnya air. Suatu saat akan ku sampaikan terima kasih kepada di lain waktu. Di lain tempat.

Ada secercah harapan.

Walau hanya secercah.

***

Asap kian menipis. Aku sudah bisa melihat pemandangan kampung. Walau asap menipis. Kunjungan orang ke Puskesmas tak kian menipis. Antriannya sangat panjang. Seperti ular naga.

Di depan puskesmas terdapat seorang pria yang berbincang dengan petugas puskesmas. “Wah.. Puskesmas makin rame saja ya. Walau asap kian menipis” kata sang pria. Sang petugas tak menjawab. Ia hanya tersenyum.

Sang pria menghela nafas dan melanjutkan kata katanya.

“Andaikan oknum oknum pembakar hutan di vonis hukuman mati... hukumannya dibakar biar tau rasa ”

Sang petugas tersenyum menahan tawa lalu berkata “walah kalo begitu pak.. asapnya bertambah lagi dong.. bisa bisa Puskesmas membludak”

“Oh iya ya” lalu mereka tertawa.

Di sela sela antrian yang panjang. Aku melihat seorang ibu yang menggandeng anaknya. Sang anak memandang tanahku dengan tatapan kesedihan. Berharap bisa sembuh dari penyakitnya. Ku pandang lagi sang anak. Ku liat dengan seksama raut wajah anak tersebut. Garis garis wajahnya mengingatkan ku pada sesuatu.

Lalu aku teringat satu hal.

Ternyata tuhan membalas do’a ku.



*Cerpen ini dibuat untuk mengenang para manusia yang berjuang melawan asap di Riau.


Magelang, 5 Februari 2016
Dellysha Naomi Riadh (09)

0 komentar:

Posting Komentar