Sabtu, 23 Juli 2016

Sebuah Peringatan



            Aku beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi dan bersiap siap berangkat ke kantor. Kulangkahkan kakiku menjauh dari rumah. Setiap hariku jalani hariku seperti ini. Tak ada yang spesial. Hanya mencari uang, uang dan uang. Perjalananku menuju kantor sangatlah menyusahkan karena tidak ada kendaraan umum yang lewat. Apalagi aku belum mempunyai kendaraan pribadi.

            Seperti biasa, aku melewati sebuah gang sempit yang kumuh dan penuh gelndangan. Aku sebisa mungkin menjauhi mereka. Biasanya, aku pura pura tak menatap mereka dan mempercepat langkahku. “Pak... tolong pak.. hanya sepeserpun tak apa.. kami belum makan tiga hari” kata salah seorang pengemis yang sepertinya sudah paruh baya. Walaupun begitu, hatiku tak tergerak sedikitpun. Bagiku itu hanya aksi semata, setelah kuberi uang paling-paling mereka hanya menghaburkannya. Seharusnya mereka lebih giat lagi, tidak hanya meminta minta.

            Kupercepat lagi langkahku. Anehnya, kakek yang tadi meminta uang padaku malah mengikutiku. Ckk.. bisa telat ini.. gerutuku dalam hati. “Pak... tolong pak” kata kakek tersebut, kali ini dengan suara yang terisak. “Pergilah!” bentakku kesal lalu pergi meninggalkan kakek tersebut setengah berlari. Bukannya menyerah, kakek tersebut malah balik mengejarku. Aku yang kesal berteriak minta tolong. Tiba tiba Pak Romi rekan kerja sekaligus sainganku di tempat kerja datang. Aku tak heran, mengapa ia lewat gang tersebut juga, karena rumah kami hanya beberapa langkah atau bisa dibilang bahwa kami tetanggaan. Berbeda denganku yang histeris dan kesal menghadapi sang pengemis, Pak Romi hanya tersenyum dan memberikan beberapa roti bungkus. “Terima kasih” gumam sang pengemis lalu kembali ketempatnya. Pak Romi tetap membalasnya dengan senyuman. Aku hanya menatap jijik sang pengemis.

            Selama perjalanan aku masih memikirkan, kenapa Pak Romi mau memberi rasa kasihannya kepada sang pengemis. Bukannya kita semua tau bahwa itu hanya sebuah kebohongan belaka, hanya sebuah drama di kehidupan. Aku pun bertanya kepada Pak Romi tentang hal tersebut. Tetapi ia hanya tersenyum dan berkata, “bukannya berbagi itu indah” lalu dia meninggalkanku.

            Sepulang kerja, seperti biasa aku langsung menuju pulang. Karena tidak ingin kejadian tadi pagi terulang, Aku meminta tolong temanku yang mempunyai kendaraan dan arah pulangnya sama untuk ikut pulang dengannya. Aku tak kan jalan kaki bersama Pak Romi, bisa bisa aku masuk ke tempat kumuh itu. Aku tak mengerti dengan Pak Romi, mengapa ia mau menghabiskan uangnya hanya untuk pengemis. Alah.. buat apa aku memikirkan Pak Romi, menghabiskan waktu saja.

               Setelah sampai di rumah, Aku langsung membanting tubuhku ke sofa. Aku sangat pusing dengan kerjaan di kantor. Walaupun perutku sudah memainkan lagu keroncong, rasa malas tubuhku mengalahkannya. Lama kelamaan akupun terlelap.

***

            Aku terbangun di dalam sebuah gubuk reyot yang sama sekai tak terurus. Aku panik, tapi tak bisa berkutik. Ku pejamkan mataku lagi agar aku kembali ke tempat asalku. Namun, hal itu sia-sia. Aku melihat pantulan diriku di sebuah cermin kumuh. Ada yang aneh, diriku lebih tua dan lebih kotor.

            Tiba tiba ada yang mengetuk pintu gubuk itu. Lima atau lebih preman mendatangiku. “Mana uangnya?” teriak mereka. Aku kebingungan, kurogoh saku ku yang ternyata terdapat beberapa receh di saku. Mereka tampak kecewa dan menggebuki diriku.

            Hari semakin siang, perut ku semakin lapar. Aku melihat sebuah tudung saji di sebuah meja yang kusam. Aku buka dengan semangat berharap ada ayam goreng kesukaanku disitu. Namun hal yang aku impikan jauh dari kenyataan, hanya sebuah piring kosong yang ada disitu. Aku hanya meringis sedih dan mengelus perutku yang sudah keroncongan.

            Seketika pikiran ku menuju ke pengemis yang tadi pagi aku temui. Aku yakin, hal ini sering menimpa padanya. Aku sangat menyesal telah melakukan hal itu padanya. Aku pun berdo’a kepada tuhan agar ini semua hanyalah dunia fana bukan kenyataan yang tiba tiba. Ku pejamkan mataku tuk berdo’a. Lalu...

            Aku terbangun di sofa rumahku. Ada perasaan lega dan syukur dalam diriku. Hal – hal yang tadi menimpa padaku hanyalah sebuah mimpi yang diberikan tuhan kepadaku. Mimpi tersebut adalah sebuah peringatan kepadaku agar aku tetap bersyukur dan tidak menghardik fakir miskin disekitarku. Mimpi ini berupa karma. Mulai detik ini aku bertekad dalam hati, agar diriku menjadi lebih baik lagi.  
oleh :
Akbar Alfaris Nasution (04)
Dellysha Naomi Riadh (09)
Nuris Faisal Hafidz (27)
XI MIPA 2

0 komentar:

Posting Komentar