Aku
beranjak dari tempat tidurku menuju kamar mandi dan bersiap siap berangkat ke
kantor. Kulangkahkan kakiku menjauh dari rumah. Setiap hariku jalani hariku
seperti ini. Tak ada yang spesial. Hanya mencari uang, uang dan uang.
Perjalananku menuju kantor sangatlah menyusahkan karena tidak ada kendaraan
umum yang lewat. Apalagi aku belum mempunyai kendaraan pribadi.
Seperti
biasa, aku melewati sebuah gang sempit yang kumuh dan penuh gelndangan. Aku
sebisa mungkin menjauhi mereka. Biasanya, aku pura pura tak menatap mereka dan
mempercepat langkahku. “Pak... tolong pak.. hanya sepeserpun tak apa.. kami
belum makan tiga hari” kata salah seorang pengemis yang sepertinya sudah paruh
baya. Walaupun begitu, hatiku tak tergerak sedikitpun. Bagiku itu hanya aksi
semata, setelah kuberi uang paling-paling mereka hanya menghaburkannya.
Seharusnya mereka lebih giat lagi, tidak hanya meminta minta.
Kupercepat
lagi langkahku. Anehnya, kakek yang tadi meminta uang padaku malah mengikutiku.
Ckk.. bisa telat ini.. gerutuku dalam hati. “Pak... tolong pak” kata
kakek tersebut, kali ini dengan suara yang terisak. “Pergilah!” bentakku kesal
lalu pergi meninggalkan kakek tersebut setengah berlari. Bukannya menyerah,
kakek tersebut malah balik mengejarku. Aku yang kesal berteriak minta tolong.
Tiba tiba Pak Romi rekan kerja sekaligus sainganku di tempat kerja datang. Aku
tak heran, mengapa ia lewat gang tersebut juga, karena rumah kami hanya
beberapa langkah atau bisa dibilang bahwa kami tetanggaan. Berbeda denganku
yang histeris dan kesal menghadapi sang pengemis, Pak Romi hanya tersenyum dan
memberikan beberapa roti bungkus. “Terima kasih” gumam sang pengemis lalu
kembali ketempatnya. Pak Romi tetap membalasnya dengan senyuman. Aku hanya
menatap jijik sang pengemis.
Selama
perjalanan aku masih memikirkan, kenapa Pak Romi mau memberi rasa kasihannya
kepada sang pengemis. Bukannya kita semua tau bahwa itu hanya sebuah kebohongan
belaka, hanya sebuah drama di kehidupan. Aku pun bertanya kepada Pak Romi
tentang hal tersebut. Tetapi ia hanya tersenyum dan berkata, “bukannya berbagi
itu indah” lalu dia meninggalkanku.
Sepulang
kerja, seperti biasa aku langsung menuju pulang. Karena tidak ingin kejadian
tadi pagi terulang, Aku meminta tolong temanku yang mempunyai kendaraan dan
arah pulangnya sama untuk ikut pulang dengannya. Aku tak kan jalan kaki bersama
Pak Romi, bisa bisa aku masuk ke tempat kumuh itu. Aku tak mengerti dengan Pak
Romi, mengapa ia mau menghabiskan uangnya hanya untuk pengemis. Alah.. buat apa
aku memikirkan Pak Romi, menghabiskan waktu saja.
Setelah sampai di rumah, Aku langsung
membanting tubuhku ke sofa. Aku sangat pusing dengan kerjaan di kantor.
Walaupun perutku sudah memainkan lagu keroncong, rasa malas tubuhku
mengalahkannya. Lama kelamaan akupun terlelap.
***
Aku
terbangun di dalam sebuah gubuk reyot yang sama sekai tak terurus. Aku panik,
tapi tak bisa berkutik. Ku pejamkan mataku lagi agar aku kembali ke tempat
asalku. Namun, hal itu sia-sia. Aku melihat pantulan diriku di sebuah cermin
kumuh. Ada yang aneh, diriku lebih tua dan lebih kotor.
Tiba tiba
ada yang mengetuk pintu gubuk itu. Lima atau lebih preman mendatangiku. “Mana
uangnya?” teriak mereka. Aku kebingungan, kurogoh saku ku yang ternyata
terdapat beberapa receh di saku. Mereka tampak kecewa dan menggebuki diriku.
Hari semakin
siang, perut ku semakin lapar. Aku melihat sebuah tudung saji di sebuah meja
yang kusam. Aku buka dengan semangat berharap ada ayam goreng kesukaanku disitu.
Namun hal yang aku impikan jauh dari kenyataan, hanya sebuah piring kosong yang
ada disitu. Aku hanya meringis sedih dan mengelus perutku yang sudah
keroncongan.
Seketika pikiran
ku menuju ke pengemis yang tadi pagi aku temui. Aku yakin, hal ini sering
menimpa padanya. Aku sangat menyesal telah melakukan hal itu padanya. Aku pun
berdo’a kepada tuhan agar ini semua hanyalah dunia fana bukan kenyataan yang
tiba tiba. Ku pejamkan mataku tuk berdo’a. Lalu...
Aku
terbangun di sofa rumahku. Ada perasaan lega dan syukur dalam diriku. Hal – hal
yang tadi menimpa padaku hanyalah sebuah mimpi yang diberikan tuhan kepadaku. Mimpi
tersebut adalah sebuah peringatan kepadaku agar aku tetap bersyukur dan tidak
menghardik fakir miskin disekitarku. Mimpi ini berupa karma. Mulai detik ini
aku bertekad dalam hati, agar diriku menjadi lebih baik lagi.
oleh :
Akbar Alfaris Nasution (04)
Dellysha Naomi Riadh (09)
Nuris Faisal Hafidz (27)
XI MIPA 2
0 komentar:
Posting Komentar